Rabu, 08 Juni 2011

Menyikapi Singapura Sebagai 'Tukang Tadah'

Dalam kurun waktu satu minggu, empat tokoh Indonesia secara terpisah mengkritisi sikap Singapura dan bagaimana negara kota itu menjalin hubungannya dengan Indonesia.
Mereka menuduh Singapura sudah menjadi tempat persembunyian paling aman bagi orang (Indonesia) yang sedang menghadapi masalah hukum.
Oktober tahun lalu, Wakil Jaksa Agung Darmono dalam rapat Komisi III DPR menuding Singapura sebagai negara tetangga yang melindungi para koruptor yang melarikan diri dari kejaran hukum aparat Indonesia.
Keempat tokoh itu adalah bekas Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Ketua Mahkamah Kosntitusi Jimly Asshiddiqie, Ketua DPR-RI Marzuki Alie dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Pernyataan keempat tokoh itu muncul bersamaan dengan adanya sorotan di masyarakat bahwa Nunun Nurbaiti, sosialita yang juga isteri mantan Wakapolri Adang Daradjatun, selama ini 'bersembunyi' di Singapura. 'Persembunyian' Nunun menjadi tak terdeteksi karena pihak Singapura tidak mau membantu para pemburu Nunun.
Padahal kalau saja Singapura bersedia, dimanapun Nunun bersembunyi, seketat apapun upaya melindunginya, usaha itu tak akan efektif. Nunun selama ini dianggap salah satu 'kunci' dari kasus penyuapan pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.
Indonesia pun tidak bisa memaksa Singapura, supaya 'menangkap' Nunun. Sebab perjanjian ekstradisi kedua negara yang ditanda-tangani 2007, belum diratifikasi oleh parlemen masing-masing. Tidak diratifikasinya perjanjian itu, seperti dikemukakan Wapres Jusuf Kalla, karena Singapura kemudian meminta akses yang lebih luas bagi Angkatan Udaranya di wilayah Indonesia. Sesuatu yang nampaknya disengaja Singapura, sehingga Perjanjian Ekstradisi itu tidak bisa dilaksanakan.
Kalau Nunun bisa dideteksi dimana dia tinggal di Singapura, maka orang-orang yang bermasalah seperti Nunun, bisa berpikir ulang menjadikan Singapura sebagai tempat persembunyian.
Alasan keempat tokoh tersebut berbicara ketus terhadap Singapura, cukup kuat. Sebab peran Singapura pelindung koruptor dari Indonesia, sudah lama jadi pembicaraan. Tapi sebagaimana lazimnya, sebuah ceritera miring seperti itu, belum menjadi perhatian para pengambil kebijakan, maka Singapura pun terus saja melanjutkan program perlindungan koruptor Indonesia.
Padahal sebagai negara tetangga terdekat dan sama-sama berada dalam perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara, seharusnya tanpa ada kritikan dari Indonesia , Singapura sudah harus lebih peka. Tidak berarti kalau pejabat Indonesia diam, tidak bicara tentang cara Singapura, lalu negara tetangga itu bisameneruskan praktek tak bersahabat itu.
Masalahnya jika sikap Singapura ini dibesarkan, banyak hal yang akan membuat akuntabilitas Singapura sebagai negara maju, bersih dan modern, terkuak secara memalukan. Misalnya dengan melindungi para koruptor, secara tidak langsung Singapura secara sengaja merusak penegakan hukum di Indonesia.
Mengapa disebut sengaja, sebab Singapura tahu betul Indonesia sedang gencar-gencarnya melaksanakan pemberantasan korupsi. Jika uang hasil korupsi dari Indonesia akhirnya ditampung Singapura, negara tetangga ini, sudah berperan seperti preman yang menjadi 'tukang tadah'.
Singapura, bisa saja berdalih bahwa negara itu tidak tahu apakah uang yang dibawa lari oleh koruptor ke sana, sebagai hasil kejahatan. Tapi dalih itu sangat tidak masuk akal. Karena di hampir semua negara maju di dunia sudah menerapkan pencegahan money laundering atau pencucian uang yang mengharuskan mengetahui asal-usul uang yang ditransfer dalam jumlah besar.
Kalau uang hasil korupsi dan koruptornya oleh Singapura diberi tempat persembunyian yang aman, tak ubahnya dengan sebuah keluarga yang hidup dari uang hasil kejahatan. Artinya Singapura adalah negara para penjahat. Maka Singapura tidak pantas mengklaim diri sebagai negara yang zero korupsi.
Yang paling tidak etis dan bermoral, jika Singapura terbukti membangun negerinya dari hasil uang korupsi di negara tetangga. Maka sekalipun Singapura menjadi salah satu negara termodern di Asia, pencapaiannya itu hanya akan ternoda.
Pencapaian itu menciptakan jurang pemisah yang lebar dengan Indonesia. Keberhasilan Singapura akan menimbulkan kecemburuan baru. Terorisme antara lain hidup karena adanya kecemburuan sosial. Jadi inilah yang perlu diperhitungkan Singapura.
Singapura lupa, sekalipun bisa menjadi sebuah negara yang terkaya di dunia, tetapi jika ia bertetangga dengan negara miskin, maka kekayaan dan kemajuannya itu tidak akan punya arti. Menjadi kaya dengan dikelilingi orang paling miskin, justru sangat berisiko. Jadi sebagai negara tetangga terdekat Indonesia, mestinya Singapura pun harus memikirkan bagaimana kehidupan yang tak bermasalah seperti itu.
Singapura perlu berkaca pada hubungan Amerika Serikat dan Meksiko. Amerika Serikat yang serba unggul dalam segala aspek kehidupan dibanding Meksiko, justru berusaha membantu negara tetangganya itu agar jurang pemisah kedua negara tidak lebih melebar.
Singapura tidak boleh lupa, bahwa ada sejumlah memori pahit tentang prilaku Singapura yang selama ini masih terus disimpan Indonesia. Jika itu dibuka, bukan mustahil kebencian massal di Indonesia terhadap Singapura bisa meledak, sebab persoalannya sudah diakumulasi dengan perlindungan Singapura terhadap para koruptor.
Kini terpulang kepada Singapura bagaimana merespon kekecewaan di Indonesia. Sementara pihak otoritas di Indonesia pun, tidak bisa terus diam. Indonesia harus bersikap lebih jelas supaya Singapura tidak menjadi tetangga 'tukang tadah'. [inilah.com]

Tidak ada komentar: