Sabtu, 16 Juli 2011

Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (4): Tuhan...Ternyata Anakku yang Terluka Itu!

cnn/ap
Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (4): Tuhan...Ternyata Anakku yang Terluka Itu!
John Phillip Walker Lindh

Pada pertengahan Desember tahun 2001, media massa di Amerika Serikat seolah tak bosan-bosannya memberitakan tentang John Walker Lindh Phillip. Dia adalah warga negara AS yang turut berjuang menghadang invasi negaranya ke Afghanistan. Seluruh kehidupan pribadinya dikuliti, termasuk pilihannya pada Islam garis keras.

Siapa John Walker Lindh Phillip? Dia adalah mualaf, yang masuk islam saat berusia 16 tahun dan berganti nama menjadi Sulaiman Al Faris. Usianya meningjak 21 tahun ketika ia berbulat tekad pergi ke Afghanistan, bergabung dengan kaum Taliban. Teman-teman seangkatannya saat ini kebanyakan masih sibuk dengan urusan perkuliahan, pacaran, alkohol, narkotika dan hura-hura.


Lama berdiam dalam kebungkaman, ayah Sulaiman, Frank Lindh Phillip, buka suara. Pada harian
The Observer, ia menuliskan curahan hatinya. Tulisan ini adalah bagian dari petikan suratnya.

Rekaman video menunjukkan adegan yang tampaknya tenang bagi para tahanan. Tangan diikat ke belakang, berbaris rapi. Tak ada yang tahu, selama sepekan anakku dan teman-temannya menerima tendangan dan pukulan, baik dengan tangan kosong atau senjata.

John anakku, dipukul di belakang kepala dan hampir pingsan. Meskipun demikian, ia berharap mereka akan membebaskannya, sesuai perjanjian.

Meskipun tidak ada tentara AS atau Inggris di benteng pagi itu, dua agen intelijen Amerika yang hadir. Dave Tyson, mengenakan kemeja panjang dan Afghanistan membawa pistol besar dan kamera video. Yang lainnya, Johnny "Mike" Spann, seorang mantan marinir, mengenakan kemeja hitam dan jeans. Dia juga bersenjata.

Ketika mereka bergerak di antara para tahanan, mereka mulai memilih tahanan yang bakal diinterogasi. John, anakku, salah satunya.

Dalam video itu, John duduk membisu di tanah karena ia ditanya tentang kebangsaannya.

"Irlandia Irlandia?" Spann bertanya.

John tetap diam.

"Siapa yang membawa Anda ke sini ... Anda percaya pada apa yang Anda lakukan? Anda bersedia untuk terbunuh di sini?"

Masih tidak ada jawaban.

Lalu, tiba-tiba, terjadi ledakan di pintu masuk ruang bawah tanah, terdengar teriakan, dan dua tahanan menyambar senjata para penjaga.

Menurut wartawan The Guardian Spann adalah orang Amerika pertama  yang mati dalam  perang  di Afghanistan. Ia dimakamkan dengan penghormatan militer penuh di Arlington National Cemetery, di dekat Washington.

Banyak tahanan dieksekusi mati. Ini adalah pembantaian. John berusaha lari, tapi ia ditembak di paha kanan dan jatuh ke tanah. Selama 12 jam berikutnya dia terbaring tak bergerak, berpura-pura mati.

Ada dua kelompok tahanan Taliban di benteng: mereka yang memilih untuk melawan dan mereka yang membungkuk di ruang bawah tanah bangunan pink dan mencoba untuk bertahan hidup. John di kelompok kedua.

Para tahanan yang berperang memasang perlawanan sengit, menjarah bangunan untuk senjata dan amunisi, menembak dari jendela, atap, dan parit. Menggunakan telepon satelit, Dave Tyson, yang baru saja melihat rekannya tewas, menelepon kedutaan AS di Tashkent, berteriak, "Kami telah kehilangan kendali. Kirim helikopter dan pasukan."

Suasana reda, John anakku, menerima bonus luka: pecahan peluru di bahunya, punggung, pergelangan kaki dan betis, selain peluru yang masih bersarang di pahanya.

Pada tanggal 1 Desember, Palang Merah tiba di benteng dan 86 Taliban yang selamat dari siksaan selama seminggu, yang selama beberapa hari telah berusaha untuk menyerah, akhirnya diizinkan untuk keluar dari ruang bawah tanah. Ketika mereka muncul ke dalam terang sinar matahari, mereka bertemu segerombolan wartawan, pekerja Palang Merah, tentara Dostum, dan pasukan Inggris dan Amerika.

Malam itu John dan korban lainnya dibawa ke rumah sakit penjara di Sheberghan.

Koresponden CNN Robert Pelton datang dengan seorang tentara AS dan kamerawan khusus. Di bawah pengaruh morfin ia diwawancara dan berita yang muncul ke dunia kemudian adalah: "hatinya telah menjadi melekat pada Taliban, bahwa setiap Muslim bercita-cita untuk menjadi syahid, atau martir, dan bahwa ia mengikuti pelatihan di kamp yang didanai oleh Osama bin Laden.

Wawancara CNN menjadi sensasi di Amerika Serikat.

Anakku menjadi buah pemberitaan di Amerika Serikat. Dikuliti hingga habis. Dia dicap sebagai "pengkhianat" yang telah "berjuang melawan Amerika" dan menjadi bagian dari teroris yang mengotaki serangan 11 September.

Bahkan hingga Presiden Bush, Wakil Presiden Dick Cheney, anggota kabinet, dan pejabat lainnya kemudian memulai serangkaian pernyataan publik sungguh luar biasa tentang John, anakku yang lembut hatinya, bahwa dia adalah seorang "pejuang al-Qaeda", seorang teroris dan pengkhianat. Saya pikir adil untuk mengatakan tidak pernah ada kasus yang seperti ini dalam sejarah AS, di mana para pejabat di tingkat tertinggi dari Pemerintah membuat pernyataan yang merugikan seperti itu tentang satu individu, warga negara yang belum dituduh dengan kejahatan apapun di pengadilan manapun.

Yohanes mengalami pelecehan dari militer AS yang melebihi batas dari apa pun bangsa beradab bisa mentoleransi, bahkan di saat perang. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld langsung memerintahkan militer untuk "melepas sarung tangan" untuk meminta keterangan pada John.

Setelah diterbangkan ke Camp Rhino, pangkalan laut AS sekitar 110km selatan Kandahar, ia dilucuti pakaiannya, dan terikat telanjang ke tandu dengan lakban melilit dadanya, lengan, dan pergelangan kaki. Pergelangan tangan John dan pergelangan kakinya terikat dengan pembatasan plastik yang menyebabkan sakit parah dan luka permanen yang masih dirasanya hingga kini.

Matanya tertutup dan ditempatkan dalam sebuah peti logam. Ia kepanasan di tengah paparan matahari gurun, dan menggigil kedinginan di malam hari. Hanya satu yang ia dengan setiap hari: bicara pada militer atau mati.

Ia kemudian diinterogasi panjang lebar dan kemudian ditempatkan kembali dalam wadah. Baru dua dua minggu kemudian ia dipindahkan menjadi tahanan militer AS, dan peluru di kakinya dikeluarkan.

Pada Juni 2002, Newsweek diperoleh salinan pesan email internal dari kantor etika Departemen Kehakiman mengomentari kasus Lindh. Intinya, mereka memperingatkan bahwa taktik interogasi FBI yang digunakan pada Rhino Campyang dilakukan tanpa kehadiran pengacaranya adalah melanggar hukum dan tidak etis.

Saran ini diabaikan oleh agen FBI yang melakukan interogasi.
(republika.co.id)

Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (3): Anakku Terhimpit di Ruang Sempit

Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (3): Anakku Terhimpit di Ruang Sempit
John Walker Lindh Phillip saat remaja

Pada pertengahan Desember tahun 2001, media massa di Amerika Serikat seolah tak bosan-bosannya memberitakan tentang John Walker Lindh Phillip. Dia adalah warga negara AS yang turut berjuang menghadang invasi negaranya ke Afghanistan. Seluruh kehidupan pribadinya dikuliti, termasuk pilihannya pada Islam garis keras.

Siapa John Walker Lindh Phillip? Dia adalah mualaf, yang masuk islam saat berusia 16 tahun dan berganti nama menjadi Sulaiman Al Faris. Usianya meningjak 21 tahun ketika ia berbulat tekad pergi ke Afghanistan, bergabung dengan kaum Taliban. Teman-teman seangkatannya saat ini kebanyakan masih sibuk dengan urusan perkuliahan, pacaran, alkohol, narkotika dan hura-hura.


Lama berdiam dalam kebungkaman, ayah Sulaiman, Frank Lindh Phillip, buka suara. Pada harian
The Observer, ia menuliskan curahan hatinya. Tulisan ini adalah bagian dari empat petikan suratnya.

Invasi Amerika ke Afghanistan dimulai pada Oktober 2001. Ribuan pasukan Amerika dikerahkan menjangkau utara Afghanistan. Amerika mengandalkan pasukan Aliansi Utara sebagai wakil mereka, dikombinasikan dengan pemboman udara, untuk melumpuhkan pasukan Taliban.

Bagian depan antara Taliban dan Aliansi Utara di Takhar dimana John ditempatkan dengan cepat dibubarkan setelah pemboman dimulai. Pasukan Taliban melarikan diri dalam kondisi panik ke Kunduz. Mereka berlari tanpa berhenti selama dua hari, mencakup jarak 80 km yang medannya sangat keras, dataran gurun.

Pasukan Aliansi Utara membunuh semua pejalan kaki yang jatuh di belakang, seringkali juga  mengebiri mereka sebelum akhirnya membunuhnya.

Para prajurit di Kunduz yang ingin menyerah menghadapi dilema.

Selama bertahun-tahun, bukan rahasia lagi bahwa Aliansi Utara melakukan penyiksaan dan pembunuhan atas tawanan perang. Kejahatan-kejahatan yang legendaris dan dikenal baik oleh para prajurit Taliban dan Pemerintah AS.

Pengacara John di kemudian hari memperoleh dari Pemerintah Amerika laporan tak terklasifdiikasi yang dikirim dari perwakilan AS di Kunduz pada 20 November 2001, untuk Colin Powell dan para kepala staf gabungan. Kabel diberi label "prioritas". Subyeknya: "Perwakilan Kunduz minta menghentikan pemboman selama negosiasi menyerah." Taliban terjebak di Kunduz, dan banyak prajurit "ingin menyerahkan diri kepada seseorang yang tidak akan membunuh mereka". Taleban, menurut kabel itu, telah "mengusulkan menyerah kepada AS atau PBB".

Pada tanggal 21 November 2001, pemimpin militer Taliban, Mullah Fazel Mazloom, mengadakan tatap muka negosiasi dengan Jenderal Abdul Rashid Dostum dari Aliansi Utara. Pakta ditakdirkan untuk tidak berakhir dengan baik. Dostum adalah seorang tokoh terkenal yang pernah menjabat sebagai pejabat di Pemerintah pendudukan Soviet. Pasukan di bawah komando Dostum yang diyakini bertanggung jawab atas eksekusi massal dari 2000 tahanan yang diduga Taliban yang  ditangkap di dekat Mazar-i-Sharif pada tahun 1997.

Meskipun demikian, tercapai kesepakatan nilai tebusan yang mahal bagi pelucutan 400 tentara Taliban  di wilayah yang dikuasai Aliansi Utara dekat kota Herat. John, anakku, dalam kondisi letih setelah perjalanan melalui Takhar, ada di antara mereka.

Para prajurit Taliban dibawa ke benteng Qala-i-Jangi kuno di pinggiran kota Mazar-i-Sharif. Di sana, John mendengar ledakan keras ketika salah satu tahanan meledakkan granat yang ia tersembunyi. Dua pria tewas dalam ledakan itu, mereka pasukan Aliansi Utara. Bisa ditebak, Dostum marah besar.

Mereka, termasuk John anakku, kemudian digiring ke bangunan bekas Soviet warna merah muda, dan disanalah ia 'menginap' selama tujuh hari; di kamar ruang bawah tanah yang berubah menjadi penuh sesak oleh tahanan Taliban. John anakku, meringkuk di sudut tidak bisa tidur - dan menyaksikan beberapa temannya 'diambil' untuk dieksekusi.

Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (2): Anakku Korban Plin-Plannya Politik Luar Negeri AS

AP
Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (2): Anakku Korban Plin-Plannya Politik Luar Negeri AS
Orang tua John Walker Lindh Phillip

Pada pertengahan Desember tahun 2001, media massa di Amerika Serikat seolah tak bosan-bosannya memberitakan tentang John Walker Lindh Phillip. Dia adalah warga negara AS yang turut berjuang menghadang invasi negaranya ke Afghanistan. Seluruh kehidupan pribadinya dikuliti, termasuk pilihannya pada Islam garis keras.

Siapa John Walker Lindh Phillip? Dia adalah mualaf, yang masuk islam saat berusia 16 tahun dan berganti nama menjadi Sulaiman Al Faris. Usianya meningjak 21 tahun ketika ia berbulat tekad pergi ke Afghanistan, bergabung dengan kaum Taliban. Teman-teman seangkatannya saat ini kebanyakan masih sibuk dengan urusan perkuliahan, pacaran, alkohol, narkotika dan hura-hura.


Lama berdiam dalam kebungkaman, ayah Sulaiman, Frank Lindh Phillip, buka suara. Pada harian
The Observer, ia menuliskan curahan hatinya. Tulisan ini adalah bagian dari empat petikan suratnya.

Benarkah anakku, John Walker Lindh Phillip, seorang Taliban? Aku menyangsikan, bahkan menentangnya.

Jauh sebelum John tiba di negara itu, Taliban Afghanistan  yang saat itu berkuasa terlibat dalam perang panjang melawan pasukan yang didukung Rusia,  dikenal sebagai Aliansi Utara. John dengan cepat diterima sebagai tentara relawan, dan menerima dua bulan pelatihan infantri di kamp militer Taliban sebelum dikirim ke garis depan.

Untuk dunia Barat, dan aku sebagai ayah John, memandang dia salah idealisme. Keputusan John untuk menjadi sukarelawan bagi tentara Afghanistan di bawah kontrol Taliban adalah ruam, dan gagal untuk memperhitungkan perlakuan Taliban terhadap warga negaranya sendiri.

Tapi penilaian tentang panglima perang Aliansi Utara bukanlah berlebihan atau tidak akurat. Pelanggaran hak asasi manusia yang brutal yang dilakukan oleh Aliansi Utara yang menyeluruh didokumentasikan oleh laporan HAM Departemen Luar negeri AS, termasuk pembantaian, pemerkosaan (baik perempuan dan anak-anak), penyiksaan, dan pengebirian.

Dari waktu invasi Uni Soviet pada tahun 1979, puluhan ribu pemuda Muslim dari seluruh dunia telah dengan sukarela, seperti yang John lakukan, untuk memberi layanan militer di Afghanistan. Itu sebanding dengan masuknya tentara sukarelawan muda dalam mendukung republik Spanyol selama perang sipil Spanyol.

Para prajurit muda inilah yang secara heroik berhasil mengalahkan Uni Soviet. Administrasi Presiden Ronald Reagan, yang menjabat dua minggu sebelum kelahiran John pada awal 1981, mendukung mereka.

Pada bulan Maret 1982, Presiden Reagan menyatakan, "Setiap negara dan setiap orang memiliki andil dalam perlawanan di Afghanistan, membantu para pejuang kebebasan Afghanistan membela prinsip-prinsip kemerdekaan dan kebebasan yang membentuk dasar dari keamanan global dan stabilitas."

Pada Maret 1983, ia menyebutkan "para pejuang kemerdekaan Afghanistan" sebagai "contoh untuk seluruh dunia bahwa cita-cita kebebasan dan kemerdekaan mengalahkan segalanya."

Dalam pidato bulan Maret 1985, ia berkata, "Mereka adalah saudara-saudara kita, para pejuang kebebasan, dan kita berhutang mereka membantu kita ... Mereka adalah setara moral Bapak Pendiri Bangsa kita."

John tak menutup mata atas fakta ini. Ia juga tak menutup mata atas laporan Deplu AS tanggal 21 Juli 2000, yang mengeluarkan "lembar fakta" yang melaporkan bahwa AS adalah "donor tunggal terbesar bantuan kemanusiaan kepada rakyat Afghanistan".

AS juga memberikan bantuan ekonomi yang besar pada Pemerintah Taliban. Pada bulan Mei 2001, misalnya, Pemerintah Amerika di bawah Presiden George W Bush mengumumkan hibah sebesar 43 juta dolar AS untuk pemerintah Taliban untuk pemberantasan opium. Menteri Luar Negeri Colin Powell secara pribadi mengumumkan hibah dirinya dalam siaran pers berjanji, "Kami akan terus mencari cara untuk memberikan bantuan lebih ke Afghanistan."

Ini tidak berarti AS sepenuhnya bersahabat dengan Taliban. Pada tahun 1999, Presiden Clinton ditempatkan Pemerintah Taliban di bawah sanksi ekonomi sebagai konsekuensi dari pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap perempuan. Tapi tidak ada permusuhan antara AS dan Taliban, dan pada tahun 2001 hubungan membaik.

Tapi setelah tragedi 11 September, 30 tahun kebijakan Amerika tiba-tiba berubah dan Amerika berayun ke sisi yang berlawanan.

Taliban menjadi musuh kita. "Mereka selalu menjadi musuh kita", adalah keyaninan baru yang ditanamkan pada publik AS.

Pada bulan Oktober 2001, AS menginvasi Afghanistan, bergandeng dengan Aliansi Utara dalam rangka menggulingkan Pemerintah Taliban. Siaran pers Colin Powell  diam-diam dihapus dari situs web Deplu.

Pada awal September 2001, sehari sebelum Tragedi 11 september, John tiba di pos militer di provinsi Takhar di sudut timur laut jauh dari Afghanistan, dekat perbatasan Tajikistan. Ini adalah garis depan dalam perang saudara antara Taliban dan Aliansi Utara.

John membawa senapan dan dua granat tangan - senjata standar untuk seorang tentara infanteri. Dia melakukan tugas berjaga dan juga memasak untuk pasukan Taliban. Namun, dia tidak pernah menggunakan senjata itu, karena selanjutnya, bersama beberapa relawan asing, ia masuk dalam korp Anshar, istilah untuk para "pembantu" tentara.

Kamp pelatihan di Afghanistan di mana Ansar menerima pelatihan infanteri didanai oleh Osama bin Laden, yang juga mengunjungi kamp secara teratur. Dia dianggap oleh tentara relawan sebagai pahlawan dalam perjuangan melawan Uni Soviet.

Para prajurit tidak menduga keterlibatan Bin Laden dalam perencanaan serangan 9 / 11, yang dilakukan secara rahasia. (republika.co.id)

Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (1): Walau Beda Keyakinan, Dia Tetap Sayang Keluarga

cnn/ap
Surat  Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (1): Walau Beda Keyakinan, Dia Tetap Sayang Keluarga
John Phillip Walker Lindh

Pada pertengahan Desember tahun 2001, media massa di Amerika Serikat seolah tak bosan-bosannya memberitakan tentang John Walker Lindh Phillip. Dia adalah warga negara AS yang turut berjuang menghadang invasi negaranya ke Afghanistan. Seluruh kehidupan pribadinya dikuliti, termasuk pilihannya pada Islam garis keras.

Siapa John Walker Lindh Phillip? Dia adalah mualaf, yang masuk islam saat berusia 16 tahun dan berganti nama menjadi Sulaiman Al Faris. Usianya meningjak 21 tahun ketika ia berbulat tekad pergi ke Afghanistan, bergabung dengan kaum Taliban. Teman-teman seangkatannya saat ini kebanyakan masih sibuk dengan urusan perkuliahan, pacaran, alkohol, narkotika dan hura-hura.


Lama berdiam dalam kebungkaman, ayah Sulaiman, Frank Lindh Phillip, buka suara. Pada harian The Observer, ia menuliskan curahan hatinya. Berikut ini kutipannya:

John Walker Lindh Phillip, anakku, dibesarkan sebagai seorang Katolik Roma, namun masuk Islam ketika ia berusia 16 tahun. Dia memiliki seorang kakak dan adik. John adalah anakku yang sangat 'ilmiah' dan taat, berdedikasi pada keluarganya, dan diberkati dengan kecerdasan yang kuat, pikiran yang senantiasa penasaran, dan rasa humor yang masam.

Ia dicap oleh Pemerintah Amerika sebagai "Tahanan 001" dalam "perang melawan teror". John menempati sel penjara di Terre Haute, Indiana. Dia telah menjadi tawanan pemerintah Amerika sejak 1 Desember 2001, kurang dari tiga bulan setelah serangan teror 11 September.

John, buah hatiku, dinyatakan bersalah atas keterlibatan dalam serangan teror, atau kesetiaan terhadap terorisme, yang tidak dibantah oleh Pemerintah Amerika. Memang, semua tuduhan terorisme melawan John dijatuhkan oleh Pemerintah dalam tawar-menawar, yang pada gilirannya telah disetujui oleh pengadilan distrik Amerika Serikat di mana kasus itu disidangkan.

Meskipun sejarah yang membanggakan sebagai demokrasi konstitusional yang stabil, AS, selama 10 tahun, telah dipengaruhi oleh luka post-traumatic setelah peristiwa mengerikan 11 September 2001. Namun, aku tidak dapat menemukan penjelasan lain untuk penganiayaan barbar dan penahanan lanjutan dari seorang pemuda yang lembut seperti John Lindh.

John anakku diberkati dengan sifat tenang dan penasaran. Sebagai seorang anak, ia lebih skeptis daripada yang lain, dua saudara kandungnya. Misalnya tentang hal-hal seperti Santa Claus.

Ketika ia berusia 12 tahun, ia melihat film Malcolm X, dan tergerak oleh penggambaran para peziarah di Makkah. Dia mulai mengeksplorasi Islam dan, empat tahun kemudian, memutuskan untuk menjadi mualaf.

Apa yang menarik dari Islam bagi John? Aku pikir, adalah kesederhanaan keyakinan, dan keaslian dokumen sumbernya - Quran dan Hadis. Ini menarik bagi otak serta hatinya. bagiku dan istriku, ibu John, pertobatannya adalah perkembangan positif dan tentunya tidak menjadi sumber kekhawatiran. Aku pernah mengatakan padanya bahwa dia sesungguhnya sudah menjadi seorang Muslim sejak kelahirannya, dan hanya perlu untuk menemukan Islam untuk menemukan dirinya sendiri. Dia tetap mencintai kami orang tuanya, dan saudara-saudaranya. Tidak pernah ada yang berubah dalam hubungan kami setelah ia menjadi Muslim.

John juga murid yang baik, dan menjadi semakin baik belajarnya setelah pertobatannya. Dia menenggelamkan diri dalam literatur Islam, dan cepat sampai pada kesimpulan bahwa dia perlu belajar bahasa Arab dalam rangka untuk melanjutkan studinya.

Pada tahun 1998, pada usia 17, John meninggalkan rumah di California dan pergi ke Sana'a, ibukota kuno Yaman, di mana dia memulai suatu program studi yang ketat. Dia bertekad tidak hanya menjadi fasih dalam bahasa Arab, tapi juga untuk mengejar pendidikan dalam tradisi lama Islam. Dia kembali ke rumah sebentar pada tahun 1999, dan kemudian kembali ke Yaman pada bulan Februari 2000, tepat sebelum ulang tahunnya yang ke-19. Aku dan istriku sangat mendukung dia, baik secara emosional dan finansial.

Pada bulan September 2000, John mengatakan kepada saya ia bermaksud untuk melanjutkan studi di Pakistan, dengan fokus pada tata bahasa Arab dan menghafal Quran. Dia tiba di Pakistan pada bulan November 2000 dan terdaftar dalam program menghafal Alquran di madrasah.

Surat yang rutin dikirimnya ke rumah menceritakan betapa antusias dan bergairahnya dia berada di Yaman dan Pakistan. Dia mencintai budaya yang ditemukan di kedua negara itu. Ya...John anakku, dia seorang Muslim di dunia Muslim saat itu.

Pada akhir April 2001, John menulis kepada aku, ayahnya, dan juga ibunya, mengatakan ia berencana untuk pergi ke pegunungan untuk menghindari musim panas yang dirasanya terlalu panas. Kami tidak punya kontak lebih lanjut setelah itu selama tujuh bulan. Tanpa diketahui kami, dia melintasi Khyber Pass ke Afghanistan, dengan maksud menjadi relawan untuk layanan bagi tentara Afghanistan di bawah kendali Pemerintah Taliban. (republika.co.id)

Jumat, 15 Juli 2011

Aku Mau Mamaku Kembali

Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa. S
Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya. Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China .

Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.

Mengikuti kisahnya di televisi, membuat saya ingin menuliskan cerita ini untuk melihat semangatnya yang luar biasa. Bagi saya Zhang Da sangat istimewa dan luar biasa karena ia termasuk 10 orang yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar manusia.

Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat.

Ia harus sekolah, ia haru mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini.
Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah. Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.

Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan.

Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya.

Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. ZhangDa Merawat Papanya yang Sakit.

Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih.

Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.
Zhang Da menyuntik sendiri papanya. Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli.

Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi/suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian.

Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya.

Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.

Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!”
Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu” Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang dan bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.

Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya.

Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya.

Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.
(situslakalaka.blogspot.com)

La Bianca, Perempuan Desa yang Memilih Menjadi Seorang Muslimah


La Bianca hanya seorang perempuan desa sederhana yang dibesarkan di sebuah peternakan di Perth, Australia Barat. Ketika masih anak-anak, ia punya hewan kesayangan, seekor kanguru. Ia juga membantu orang tuanya mengurus sapi-sapi dan domba. Meski perempuan, La Bianca senang berburu. Kelinci dan anjing hutan menjadi sasaran buruannya.

Keluarganya tidak terlalu ketat mengajarkan agama. Tapi La Bianca percaya adanya Tuhan dan ia dididik dengan tradisi dan nilai-nilai moral keluarga Italia, dimana seorang anak gadis sangat dijaga dan dilindungi.

Setiap Minggu, La Bianca dan keluarganya mengikuti misa ke gereja. Namun buat La Bianca, kedatangannya ke gereja cuma ikut-ikutan keluarganya saja, karena ia mengaku tidak paham apapun tentang agama yang dianutnya. Yang ia tahu, ia harus mengenakan gaun berwarna putih dan mengucapkan beberapa baris doa saat harus melakukan komuni. Yang ia tahu, Yesus dan Maria hanya patung yang dipajang di gereja. Tapi, La Bianca tetap percaya Tuhan itu ada dan ia tetap berdoa pada Tuhan.

Hingga beranjak remaja, La Bianca tidak pernah pergi ke kota, sehingga ia menjadi remaja yang cenderung lugu dan naif. Meski demikian, ada sisi positif dari kondisi seperti itu. La Bianca menjadi remaja yang sikapnya lebih alamiah dan lebih terbuka. Jika orang-orang kota cenderung bersikap lebih keras dan emosional, orang desa seperti La Bianca cenderung menerima setiap orang apa adanya.

Baru pada usia 16 tahun, La Bianca meninggalkan kehidupan pedesaan. Keluarga besar La Bianca yang keturunan Italia, banyak tersebar dan tinggal di kota-kota Australia dan ia tinggal dengan salah satu bibinya.

La Bianca mendapat pekerjaan pertamanya sebagai resepsionis. Di tempat kerjanya ia bertemu dengan seorang muslimah asal Afrika Selatan bernama Tasneem. Tasneem bukan tipikal muslim yang taat. Ia tidak mengenakan jilbab atau salat, tapi Tasneem selalu memastikan ia tidak makan makanan yang dilarang dalam agama Islam. Tasneem juga tidak minum minuman beralkohol. Namun Tasneem sering pergi klubing. Orang tua Tasneem mengizinkan puterinya klubing, asalkan pulang tidak terlalu larut malam.

Satu hal yang dipelajari La Bianca dari Tasneem adalah puasa di bulan Ramadan. Ia selalu merasa tertarik dengan Muslim, karena setiap muslim yang ia jumpai selalu bersikap hangat, ramah dan menerimanya apa adanya, dan ia melihat seorang muslim selalu cinta keluarga. La Bianca merasa nyaman bersosialisasi dengan teman-teman muslimnya. Suasana kekeluargaan yang ia rasakan, membuatnya selalu teringat akan kehidupan pedesaan yang ia tinggalkan selama ini.

Secara khusus, La Bianca mengaku lebih senang bergaul dengan mereka yang berasal dari atau keturunan orang Afrika. Karena orang-orang Afrika, menurutnya, lebih hangat dan ramah. Sedangkan orang Eropa, kata La Bianca, sikapnya dingin dan banyak menciptakan dinding pemisah di tengah pergaulan dengan orang lain.

Sikap La Bianca sama dengan ayahnya, yang selalu menghormati semua orang, tanpa melihat latar belakang etnisnya. Berbeda dengan ibunya yang agak rasis. Ibu Bianca masih beranggapan bahwa orang-orang Eropa lebih superior dibandingkan dengan bangsa lainnya.

Karena sering bergaul dengan muslim, teman-teman muslim Bianca terus bertambah. Dari mereka, ia tahu bahwa seorang muslim wajib menunaikan salat lima waktu setiap hari. Tapi La Bianca mulai banyak tahu tentang Islam ketika ia menikah dengan seorang lelaki muslim.

"Saya ingat, begitu ia bertemu saya, ia langsung mengenalkan saya pada ibunya dan mengatakan bahwa mereka ingin membuat komitmen jangka panjang--menikah dan membangun keluarga," tutur La Bianca.

Sejak itu, ia mulai mengikuti kursus agama Islam. Ia juga mulai mengubah cara berpakaiannya. La Bianca mulai mengenakan baju dan rok yang longgar. Ia mengatakan, saat belajar tentang Allah yang Mahabesar, ia merasa semua ajaran Islam masuk akal, indah dan harmonis.

Hal terberat bagi Bianca setelah belajar Islam adalah ketika ia mengenakan jilbab. Jilbab yang dikenakannya, mengubah citra dan sangat mempengaruhi jiwanya. "Di kampung halaman, di peternakan keluarga kami, di tempat kerja, orang selalu menanyakan mengapa saya mengenakan jilbab itu," ungkap Bianca.

Pertama kali melihatnya berjilbab, ayah Bianca berpikir bahwa Bianca tidak menghormati teman-teman ayahnya jika tidak mengenakan busana yang membuat senang teman-teman ayah Bianca. Bianca mengakui, awalnya ia merasa bersalah karena membuat ayahnya merasa tidak dihormati. Tapi seiring dengan menguatnya keyakinan pada Allah Yang Mahakuasa, Bianca menyadari bahwa ia ingin membuat Allah Swt senang lebih dari keinginannya untuk menyenangkan manusia.

"Saya berkata pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak mau membuat konsensi apapun, karena saya tahu bahwa saya sudah melakukan hal yang benar. Saya juga tahu, jika saya mulai melakukan kompromi, maka kompromi itu tidak akan pernah berhenti dan saya akan hidup tanpa Islam sama sekali. Saya tidak mau itu terjadi," tukas La Bianca.

Meski awal mengenakan jilbab ia merasa repot dan kesulitan. La Bianca merasakan sendiri, setelah mengenakan jilbab, tak ada lelaki yang berani menggodanya dan ia merasa lebih dihormati sebagai perempuan.

"Saya mengagumi konsep bahwa kaum perempuan ibarat harta karun berharga, dan oleh sebab itu harus dilindungi dan hanya boleh dilihat oleh mereka yang berhak melihatnya," ujar La Bianca.

Ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh beberapa orang sahabatnya pada tahun 2008. Bagi Bianca, Islam adalah kebenaran dan ia ingin terus dan terus memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Suami dan keluarga suaminya memberikan dukungan moral pada La Bianca untuk mengenakan jilbab, meski butuh waktu untuk La Bianca untuk pada akhirnya mengenakan jilbab dengan benar. (kw/IR/eramuslim.com)

Selasa, 12 Juli 2011

Sesama Hacker Bakal Saling Serang

Sesama Hacker Bakal Saling Serang
Hacker
 
Harian The New York Times mengutip, para hacker punya sasaran baru, yaitu sesama hacker. Jadi bukan lagi para eksekutif perusahaan besar, pejabat pemerintah atau nasabah bank yang polos. Sudah jadi rahasia umum bahwa perusahaan sekuritas dan instansi pemerintah mengandalkan para hacker untuk membasmi kejahatan komputer, tapi rupanya arah angin mulai berbalik.
Dalam beberapa minggu terakhir, pelbagai perusahaan besar seperti Sony, Fox News, bahkan situs web pemerintah Amerika dan dinas intelijen CIA sempat di-hack para hacker lihai. Salah satu kelompok yang terkenal dengan aksinya adalah LulzSec yang diawasi ketat CIA. Walaupun akhir bulan lalu kelompok ini mengumumkan bubar, CIA tetap menjadikan mereka target, kali ini dengan bantuan informasi dari kelompok hacker saingan tersebut. 
The New York Times mengutip, cara jitu membuka kedok seorang hacker memang dengan mendokumentasikan identitas pribadinya. Dalam bahasa internetnya, to be dox'd. Sebuah kelompok hacker yang menyebut diri A-Team, mengumpulkan informasi pribadi "pihak lawan" dan menyebarkannya di internet. Jika informasi sudah terkumpul, sangat mudah untuk melacak siapa di balik nama-nama alias tersebut. Dengan itu, polisi jadi punya bukti untuk menggulung mereka.
Anonimitas hacker membuat tindak kriminal yang mereka lakukan seakan tidak berbahaya. Harian Trouw menulis, tabloid Inggris News of the World meng-hack kotak suara telepon genggam seorang gadis yang hilang. Tabloid ini pernah bikin geger dengan menyadap percakapan telepon selebriti Inggris seperti istri Pangeran William Kate Middleton, mantan perdana menteri Tony Blair dan Pangeran Edward. Hal ini menyebabkan pemred tabloid dipecat, tapi tidak membuat mereka kapok.
Trouw mengutip, tabloid mendengarkan rekaman pesan orangtua Milly Dowler yang putus asa dan mempublikasikannya. Yang mengejutkan, detektif yang disewa tabloid menghapus sejumlah pesan karena dia takut kehilangan berita sensasional tersebut. Penyadapan ini menyebabkan orang tua dan polisi mengira Milly masih hidup, dan mengacaukan penyelidikan polisi atas kasus tersebut.
republika.co.id)
 

Alhamdulillah...Keluarga Keturunan Tionghoa di Indonesia Kian Terbuka Terhadap Islam

AGUNG SASONGKO/REPUBLIKA.CO.ID
Alhamdulillah...Keluarga Keturunan Tionghoa di Indonesia Kian Terbuka Terhadap Islam
Masjid Lautze Jakarta
 
Syiar Islam di kalangan keturunan Tionghoa mulai menuai hasil. Hal itu terlihat dari keterbukaan di sebagian keluarga Tionghoa untuk mengenal Islam. Demikian diungkapkan Humas sekaligus pengurus Masjid Lautze dan Yayasan Ali Karim Oei, Yusman Alfian kepada republika.co.id, Saat dihubungi via sambungan telepon, Senin (11/7).

Dikatakan Yusman, sudah menjadi hal umum di masjid Lauzte melihat keluarga yang kebetulan non Muslim ikut melihat secara langsung proses pembimbingan anggota keluarganya yang kebetulan memeluk Islam. Kondisi itu, menurut Yusman, merupakan kemajuan yang patut disyukuri. Sebab, selama ini banyak kisah yang memilukan terkait perlakuan keluarga terhadap anggotanya yang memutuskan untuk memeluk Islam.

"Sikap mereka patut diapresiasi, apalagi mereka juga tak segan bertanya soal program pembinaan," kata dia.

Menurut Yusman, kebanyakan pandangan mereka soal Islam cenderung positif. Mereka bahkan detail menanyakan apapun guna mempermudah anggota keluarganya yang tengah mengikuti pembinaan. "Sebagian mereka bahkan berpesan kepada anggota keluarganya untuk tidak memeluk Islam secara asal-asalan," kata dia.

Namun, tambah Yusman, keberhasilan itu belumlah capaian akhir. Sebab, masih banyak pekerjaan rumah bagi umat Islam untuk lebih mendekatkan diri lagi kepada kalangan tionghoa. Pendekatan yang dimaksud adalah tidak memeta-metakan umat Islam berdasarkan asal usulnya. "Ya, harapannya, tidak ada embel-embel dibelakang Muslim, seperti misal Muslim Tionghoa," kata Yusman.

Sementara itu, jumlah keturunan tionghoa yang memutuskan memeluk Islam terus bertambah. Menurut Yusman, setiap minggunya minimal ada dua orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan demikian, bila dikalkulasi perbulannya, jumlah keturunan tionghoa yang memeluk Islam mencapai 40 orang dalam sebulan. Namun, dia belum bisa menyebutkan berapa jumlah mualaf yang bersyahadat sepanjang Januari-Juli 2011.

"Kami belum mengkalkulasinya, tapi alhamdulillah, setiap minggunya pasti ada yang bersyahadat," kata dia.

Dikatakan Yusman, tidak semua individu yang bersyahadat berasal dari Jakarta saja tapi juga berasal dari kawasan Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi. "Cukup beragamlah," kata dia. Yang terpenting, kata dia, individu yang bersyahadat tidak hanya berasal dari kalangan Tionghoa tapi juga kalangan pribumi lain.
(republika.co.id)