Minggu, 05 Juni 2011

Negara pun Harus Punya Gender

Hingga awal 1970-an Malaysia, masih sering menjadi obyek olok-olokan orang Indonesia. Sebagai negara yang 12 tahun lebih dulu merdeka dari Malaysia, banyak alasan yang membuat mengapa sikap Indonesia seperti itu.
Antara lain karena untuk urusan lagu kebangsaan saja, Malaysia menjiplak lagu ciptaan orang Indonesia. Sudah begitu lagu yang dijiplak itupun, tidak mencerminkan dan membangkitkan semangat patriotisme dari sebuah bangsa. Beberapa penggalan dari syair lagu kebangsaan Malaysia hanya menggambarkan romantisme kosong dari seorang laki-laki.

Sebagai negara yang merdeka pada 1957, baru delapan tahun (1965) merdeka, Malaysia sudah menghadapi krtisis tenaga pengajar (guru). Maka jalan pintas yang dilakukan Malaysia untuk mengatasi krisis tersebut adalah meminta bantuan guru dari Indonesia.
Pada masa itu, ekspor tenaga kerja belum dikenal sama sekali. Sementara guru di Indonesia merupakan sebuah profesi yang sangat mulia. Wibawa guru di era itu sangat kuat. Sehingga yang diminta Malaysia adalah manusia-manusia Indonesia yang berkepribadian.
Dengan pengakuan Malaysia bahwa negara itu tidak punya guru, maka kita pun menganggap negara tetangga tersebut sebagai negara yang 'tidak berpendidikan', negara terbelakang. Walaupun tidak diutarakan secara terbuka, tetapi dengan keadaan Malaysia seperti itu, di kalangan masyarakat Indonesia, tumbuh semacam perasaan malu menjadi tetangga Malaysia.
Kalau saja Tuhan mengizinkan Indonesia untuk memindahkan letak Malaysia ke salah satu wilayah di dunia yang jauh dari Indonesia, mungkin hal tersebut akan kita lakukan.

Sikap Indonesia yang meremehkan Malaysia semakin mengental, sebab hingga menjelang awal 1980-an, ketergantungan Malaysia pada Indonesia, terus terjadi. Yang paling baru soal bahasa.
Agar bahasa "asli" Indonesia yang digunakan di Malaysia, digunakan secara benar, maka Indonesia menyetujui penyesuaian sejumlah kata baik dalam makna maupun ejaannya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada era itu memerintahkan agar semua sekolah Indonesia mengadopsi bahasa Indonesia yang diperbaharui dimana ejaanya mengikuti pola penulisan bahasa Melayu.
Tidak berhenti di situ. Pemerintah Indonesia menyetujui permintaan Malaysia agar program-program siaran RRI dan TVRI, bisa dipancarkan kembali oleh RTM (Radio dan Televisi Malaysia).
Secara tersirat, pemerintah Malaysia mengaku, orang-orang pemerintahan di Kualalumpur, tidak punya kemampuan samasekali untuk membuat program siaran yang sesuai dengan kebutuhan pendengar dan pemirsanya. Sehingga pada hari-hari tertentu, program siaran RRI dan TVRI, ikut direlay oleh radio dan televisi Kualalumpur. Atau berita RTM, direlay oleh RRI dan TVRI.

Di pihak lain, secara diam-diam para elit pemimpin Malaysia mulai berpikir untuk mengubah keadaan ini. Adalah Mahathir Mohammad yang bisa dibilang sebagai pemicunya. Dokter kesehatan yang banting stir ke dunia politik itu, setelah terpilih sebagai pemimpin di negaranya mulai menyebarkan visi dan pemikiran-pemikirannya, tentang bagaimana membangun Malaysia.
Mahathir menulis sejumlah buku di antaranya Malaysia 2020. Yang tujuannya tidak lain untuk mengubah paradigma bangsa Melayu agar bisa menjadi sebuah bangsa yang maju.
Buku Mahathir sekalipun tidak semuanya disetujui oleh mereka yang membacanya, tetapi kesan kuat dari apa yang ditekankan oleh penulisnya disitu adalah pentingnya sebuah pilihan. Apakah kita akan memilih mentah-mentah sistem ekonomi, politik dandemokrasi dari Barat atau membuat sistem sendiri ?
Secara eksplisit Mahathir tidak menjawab pertanyaannya sendiri. Tetapi kuat tersirat bahwa Mahathir menghendaki Malaysia menjadi sebuah negara yang tidak boleh lagi dicibirkan Indonesia.
Hasilnya tidak lama kemudian Malaysia menjadi negara pertama di Asia, di luar Jepang yang punya mobil buatan sendiri, dengan merek Proton. Malaysia juga menjadi negara pertama yang ibukota pemerintahannya menggunakan dan mengandalkan Teknologi Informasi.
Pusat pemerintahan Malaysia di kota Putra Jaya, luar Kualalumnpur tersohor sebagai salah satu pusat birokrasi di dunia yang pengoperasiannya tidak menggunakan kertas. Semua serba on-line .

Apa yang dilakukan Mahathir menjadi semacam sebuah lompatan besar. Karena sebagaimana yang bisa kita saksikan dewasa ini, kualitas pendidikan Malaysia melampaui jauh dari tingkat yang dimiliki Indonesia.
Hampir semua universitas berkualitas di Eropa, Amerika dan Australia, punya franchise-nya di Kualalumpur dan sekitarnya. Jumlah mahasiswa Malaysia yang belajar atas biaya sendiri di luar negeri, mencapai satu juta orang. Bandingkan dengan Indonesia, dengan penduduk 250 juta, mahasiswa Indonesia di luar negeri paling banter beberapa ratus ribu orang saja.
Malaysia juga menjadi pilihan tempat belajar oleh mahasiswa Indonesia. Selain kualitas, biaya pendidikan jauh lebih murah. Posisi Indonesia terhadap Malaysia, begitu juga sebaliknya menjadi serba terbalik.
Pemimpin Malaysia itu sangat vokal terhadap asing, khususnya Barat. Sampai-sampai Mahathir sempat dijuluki The Little Soekarno, Soekarno Kecil. Soalnya penentangannya terhadap sistem politik dan ekonomi liberal ala Barat, dinyatakannya secara terbuka. Semua ini mengingatkan kepada gaya Soekarno, tokoh kharismatik dari Indonesia.

Sementara kita di Indonesia, negeri yang menjadi rujukan pemimpin Malaysia justru bersikap ambigu. Kita tidak punya tokoh panutan. Kita kehilangan rasa percaya diri. Kita menjadi bangsa yang pesimistis. Bangsa yang tidak berani mengambil keputusan. Termasuk ketakutan terhadap kekuatan Malaysia.
Di bidang ekonomi, kita tidak berani menentukan soal koperasi. Apakah akan dijadikan soku guru perekonomian Indonesia atau kehadirannya hanya sekadar untuk memenuhi permintaan konstitusi.

Politik luar negeri juga demikian. Kita coba mengesampingkan pemikiran-pemikiran Soekarno dalam soal kekuatan negara ketiga, hal yang tidak disukai oleh Barat. Tetapi terhadap Barat pun, sikap kita tidak jelas.

Jadilah kita sebagai bangsa yang indentitasnya tidak jelas. Atau seperti manusia yang gender atau jenis kelaminnya disebut laki-laki tidak, tetapi dibilang perempuan pun juga tidak. Padahal kejelasan jenis kelamin itu sangat penting. Siapa bilang bangsa tidak perlu gender?
(inilah.com]

Tidak ada komentar: