Selasa, 19 Juli 2011

Bahaya Motif di Balik Peristiwa Radikalisme dan Terorisme


 
  Oleh: Mustofa B. Nahrawardaya
PERNAHKAH anda membayangkan bagaimana caraanya membuat citra Pondok Pesantren --yang selama ini dikenal berisi orang-orang menuntut ilmu agama--, agar nampak buruk, agar nampak radikal, dan dikesankan berisi orang-orang yang melawan ideologi negara? Sepertinya sangat susah.

Tapi dengan sebuah peristiwa ledakan bom rakitan, ternyata hal itu bisa dilakukan. Bahkan, dengan adanya satu saja ada ledakan kecil di Pondok Pesantren di kampung kecil, hampir semua orang kemudian menuntut pentingnya pengetatan dan pengawasan ekstra terhadap semua Pondok Pesantren di Seluruh Indonesia.

Seluruh perhatian kemudian terpusat pada pentingnya mengendalikan Pondok Pesantren agar terhindar dari pengaruh radikalisme dan terorisme. Itulah yang disebut sebagai ‘dampak’. Bom adalah peristiwanya, dan citra buruk sebagai dampaknya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008:313), dampak diartikan sebagai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik itu akibat negatif maupun akibat positif). Karena yang diinginkan bernama dampak, maka kadang peristiwanya bisa direkayasa sedemikian rupa agar dampak yang ditimbulkan bisa sesuai dengan keinginan pembuat peristiwa Meski begitu, dampak dari peristiwa kadang  juga di luar dugaan pembuat peristiwa.

Namun yang pasti, dampak yang diinginkan sangat mudah dicapai dengan peristiwa yang diciptakan. Mau tahu bagaimana sebuah peristiwa sangat penting untuk mendapatkan dampak yang diinginkan?

Pertama,  bagi orang awam, Bom Bali I yang terjadi pada Oktober 2002 mungkin dikiranya benar-benar bikinan Amrozi Cs. Bom yang menewaskan 202 orang ini, bahkan disangkal sendiri oleh mantan Kabakin ZA Maulani (almarhum), jika bom tersebut bikinan Amrozi Cs. Karena jika dilihat dari bahan yang ditemukan di TKP (Tempat Kejadian Perkara), bahan tersebut hanya bisa dimiliki oleh Israel, Prancis dan Amerika Serikat.

Namun sidang bom terdahsyat Indonesia ini, para pelaku yang sekarang sudah dieksekusi mati, mengaku bahwa bahan yang digunakan hanya bahan-bahan dari materi petasan. Sedangkan yang ditemukan di TKP adalah semacam C4, maupun bekas RDX. Tentu itu bukan keanehan, karena memang Amrozil Cs hanyalah tumbal.

Maka dari itu, meski para pelaku mengaku hanya  menggunakan 1 kuintal bahan petasan sekalipun, menurut ZA Maulani, tak mungkin bisa menghancurkan TKP hingga sedahsyat yang terlihat di lokasi ledakan. Amrozi Cs, dalam sidang mengaku membuat bom (petasan)nya, akan tetapi tampaknya mereka sengaja dijebak dalam ledakan sedemikian rupa dahsyatnya, sehingga yang bersangkutan beserta kelompok dan teman-temannya  menjadi terlibat dalam kejadian tersebut.

Hal itu bisa dilihat dalam sidang-sidang, mereka tampak bodoh dan tak bisa terampil merangkai secara profesional. Meski begitu, lihat saja dampak dari Bom Bali I. Pemerintah kemudian membabibuta memburu seluruh orang-orang yang pernah belajar bom semacam Amrozi. Mereka tak tidak lain, adalah para bekas Mujahidin yang pernah berjuang dan berjihad di Afganistan, Ambon , dan Maluku.

Jumlah mereka, menurut beberapa sumber, mencapai 3000 orang. Sebagian dari 3000 veteran mujahidin ini sudah dihabisi aparat di Indonesia maupun negara-negara tetangga. Maka dari itu, tidak sedikit pengamat menduga, peristiwa Bom Bali sengaja diciptakan untuk memaksa pemerintah agar bersemangat memburu para veteran mujahidin Indonesia, demi membalas dendam terhadap kejadian 9/11 yang merontokkan tower WTC di Amerika.

Bagaimanapun, peristiwa 9/11 telah mempermalukan Amerika di mata negara-negara sedunia. Dan, ternyata dampak dari Bom Bali 1 benar-benar sukses. Pemerintah sangat bersemangat memburu mereka, dengan bantuan dana dan perlengkapan dari Amerika. Yang menjadi janggal, teroris kini tidak pernah habis meski Densus sudah menangkapi dan menembak mati dedengkot-dedengkot teroris macam Noordin M Top, Dr Azahari, Dulmatin, dan lain-lain. Setiap hari muncul nama baru yang dikait-kaitkan dari kadang dari terduga yang sudah ditembak mati.

Kedua, berbagai persitiwa bom di Indonesia pasca Bom Bali I, juga meninggalkan dampak luar biasa. Banyak keluarga Muslim yang misalnya  isterinya mengenakan cadar, berbaju gamis, celana ngantung, berjenggot, atau semacam itu, akhirnya menjadi terkucilkan.

Mereka bahkan sudah tercap sebagai ‘kelompok’ calon teroris meskipun tidak melakukannya. Ini gara-gara polisi sering membiarkan media over blow-up ambil gambar dan mempublikasikan terduga pelaku bom yang selalu bercelana ngantung, berjenggot, berbaju gamis, dan beristeri cadaran.
Dan anehnya, cara-cara ini terus menerus digunakan oleh Densus 88 setiap kali ada persitiwa bom. Lebih lucu lagi, Densus 88 tak segan menyertakan kitab suci Umat Islam bernama al-Qur’an sebagai barangbukti terorisme.

Mungkinkah dengan kebijakan murahan itu, ada keinginan agar penyitaan al-Qur’an bisa berdampak negatif: misalnyaagar orang Islam takut menyimpan al-Qur’an di rumah? Atau orang Islam takut membawa bahkan menampakkan al-Qur’an di tempat umum?

Yang lebih memprihatinkan, cara-cara polisi menggelandang terduga teroris, sangat mirip cara pasukan Amerika. Dan sudah seperti pemandangan di Timur Tengah: terborgol, terantai kakinya, dilakban matanya, dan diseret-seret. Jika melihat itu, kita sepertinya tidak sedang berada di Indonesia yang dikenal santun.

Terakhir, tentang bom di Pondok Pesantren UBK (Umar Bin Khattab) Bima, Nusa Tenggara Barat. Tidak jelas, siapa yang merakit, menaruh, dan meledakkan bom itu. Yang jelas, sebelum ada bom, dikabarkan anggota Polsek setempat yakni Brigadir Rokhmad tewas dibunuh oleh salahsatu santri ponpes UBK. Pada Kamis tanggal 30 Juni 2011 siang, polisi naas itu ditikam pelaku bernama Saban Abdurahman.

Sebenarnya publik juga belum mengetahui latar belakang penusukan itu. Mengapa tiba-tiba ada penusukan hingga menewaskan seorang polisi. Satu-satunya sumber, hanya datang dari polisi sendiri. Kata polisi, pelaku menikam polisi karena ada perintah tuhan untuk membunuh korban yang dianggap kafir.

Tahu-tahu, sebuah bom meledak beberapa hari setelah polisi menangkap pelaku penusukan. Tepatnya Senin tanggal 11 Juli 2011, sebuah bom kecil tiba-tiba meledak di dalam ponpes UBK. Siapa yang merakit, dan meledakkan bom itu? belum diketahui.

Dengan adanya ledakan tersebut, kini ada alasan polisi untuk memasuki pondok. Polisi lalu menangkapi santri dan kembali menenteng satu peti al-Qur’an sebagai barang bukti, selain beberapa barangbukti lain yang ‘lazim’ ditemukan di TKP bom: VCD Jihad, rangkaian bom, CPU, printer, dan lain-lain.

Polisi juga menyebut dugaan adanya bom adalah untuk "membalas dendam" polisi karena menangkap Ubaid, salahsatu tersangka pelatihan militer yang konon ada kaitan dengan ponpes UBK!. Belakangan polisi mengaitkan mereka dengan JAT-nya Abu Bakar Baasyir karena ada jaket bertuliskan Jamaah Anshorut Tauhid.

Dampak berikutnya. Beberapa tokoh masyarakat buru-buru menyuarakan perlunya pemerintah mengawasi semua pondok pesantren. Salah satu ormas Islam, underbow PBNU, GP Ansor malah langsung membentuk Densus 99 untuk membantu Densus 88— sebuah langkah yang rancu.

Sudah tentu, banyak yang meminta agar ponpes UBK nantinya akan ditutup. Jika benar ponpes UBK ditutup, itulah dampak paling berbahaya. Karena jika hanya karena sebuah ledakan kecil kemudian berhasil menutup operasi sebuah Pondok Pesantren, maka kejadian serupa akan terulang di pondok pesantren lain.

Ingat, masih ribuan veteran Mujahidin yang belum dihabisi aparat. Artinya, mereka bisa saja satu demi satu  digilir dan dibuat sedemikian rupa agar terlibat dalam aksi terorisme yang melibatkan ponpes tertentu, lalu dipakai alasan untuk menutup Pondok Pesantren itu.

Saya menduga, peristiwa di Ponpes Bima adalah sebuah "pilot project liar" untuk kelak bisa dipakai polanya, menutup Ponpes Al Mukmin Ngruki di Solo. Apalagi Abu Bakar Baasyir sudah mendekam di tahanan, kemungkinan melakukan aksi serupa di Ngruki sungguh sangat mudah. Apakah caranya dengan akan ‘ledakan’ juga, atau dengan variasi lain? Kita tunggu.*


Penulis adalah Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) dan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
(hidayatullah.com)

Tidak ada komentar: