Selasa, 19 Juli 2011

Penanganan Keras Atas Terduga Teroris Timbulkan Dendam


 

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, Minggu (17/7), menyatakan, indikasi timbulnya dendam mulai bisa dilihat sekarang. Sejumlah kasus polisi dibunuh oleh simpatisan kelompok garis keras di berbagai daerah. Misalnya kasus di Bekasi, seorang polisi tiba-tiba dibunuh padahal polisi bersangkutan bukan anggota Densus 88.

Kasus serupa terjadi pada masa pascapasukan bersenjata ABRI memberangus sekelompok jamaah Islam di Tanjungpriok, dengan alasan sebagai kelompok garis keras. Beberapa waktu situasi mereda, warga justru menebas tentara yang kebetulan lewat di gang di kawasan Tanjungpriok, dengan alasan sebagai bagian dari tentara yang menyerang mereka. Padahal tentara yang bersangkutan juga tidak pernah terlibat dalam operasi penyerangan.

"Penanganan teroris sekarang sama (dengan operasi Kopkamtib-red.). Penyelesaian dengan kekerasan, seperti ada teroris ditembak kepalanya. Deradikalisasi semestinya bukan dengan cara kekerasan seperti menembak (terduga) teroris di kepala," kata dia saat peluncuran bukunya berjudul "Hegemoni Rezim Intelijen".

Menurut dia, sangat mengejutkan Densus 88 dibentuk oleh Polri untuk menangani kejahatan teror dengan pendekatan utama kekerasan. Cara demikian tidak "menyehatkan" keadaan, sebaliknya melahirkan generasi teroris baru.

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) tersebut berpendapat, Polri terutama Densus 88 semestinya belajar dari masa lalu di mana kasus teroris indikasinya tidak semata kejahatan. Jika melihat pola dan modus teroris dan organisasinya, kasus ini mirip dengan Komando Jihad yang terjadi pada masa Orde Baru, ada aspek rekayasa atau campurtangan pemerintah tertentu.

Kasus Komando Jihad (KJ) skenario awalnya isu ancaman komunisme di Vietnam terhadap stabilitas Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Sebagai antisipasi, para operator intelijen mendesain KJ, direkrut para mantan anggota Darul Islam (DI) dan ditunjuk pimpinannya H. Ismail Pranoto (Hispram). Belakangan diketahui, KJ dan misinya diskenario oleh Ali Murtopo.

Kemudian KJ direkayasa sebagai organisasi yang mengancam keamanan nasional dengan isu KJ bermaksud akan mengganti Pancasila dengan mendirikan negara Islam, pemerintah yang sah sebagai thogut, sebagai jalan mendapatkan dana dilakukan fa'i atau perampokan dari harta orang-orag kaya," "Teroris sekarang ada kesamaan isunya," ujar dia.

Iman Samudera dan kawan-kawan memandang pemerintah sekarang thogut, mereka bermaksud mendirikan negara Islam, dengan mengganti dasar negara Pancasila dengan syariat Islam, atau alasan solidaritas atas pembunuhan muslim di Palestina dan kawasan Timur Tengah lainnya. Adapun organisasi yang dijadikan kendaraan Jamaah Islamiyah (JI).
Para keluarga teroris pun kehidupannya seperti diskenario sama dengan korban KJ maupun gerakan PKI. Anak-anak para terduga teroris mengalami stigmatisasi seperti tidak bisa mendapatkan KTP, tidak bisa sekolah negeri, dengan alasan anak-anak dari para teroris. Kemudian keluarga mereka dibatasi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

"Kami memiliki lembaga Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia melakukan advokasi dan pembinaan para keluarga teroris. Ibu dan anak-anak para terduga teroris hidup terasing di berbagai daerah seperti di Cilacap, Boyolali dan banyak daerah lain. Mereka bertanya-tanya mengapa ayah dibilang teroris? Keadaan demikian merupakan stigmatisasi, jika anak mereka terus ditelantarkan, maka kita membiarkan lahir generasi teroris baru seperti anak-anak Palestina. Dalam benak mereka tidak ada kata lain kecuali perlawanan terhadap kekerasan yang mereka dan orangtuanya merasakan," ujar Busyro.*
(hidayatullah.com)

Tidak ada komentar: