Selasa, 10 Mei 2011

Dulu Berjasa, Sekarang Diperalat Intelijen (2)

Dulu Berjasa, Sekarang Diperalat Intelijen? (2)

SEMENJAK ditandatanganinya "Perjanjian Renville" antara Pemerintahan RI dengan Penjajah Belanda, di mana salah satu kesepakatannya adalah berupa gencatan senajata dan pengakuan garis "Demarkasi Van Mook", maka ini telah menjadi pil pahit bagi Indonesia, termasuk bagi Kartosoewirjo yang telah lama merasa berdarah-darah.
Perjanjian yang mewajibkan Pemerintah Indonesia menarik semua pasukannya dan mengakui beberapa wilayah yang dikuasi Belanda dinilai Kartosoewirjo sebagai sikap 'tunduk' pada penjajah kafir.
Ketika semua pasukan harus menarik diri dan pindah ke Jawa Tengah, sebagai konsekwensi Perjanjian Renville, Kartosoewirjo justru bersikap sebaliknya. Bersama Hizbullah dan Sabilillah –keduanya adalah salah satu sayap mujahidin dan kesatuan santri pembela tanah air— dan lebih memilih tetap tinggal untuk meneruskan perlawanan terhadap penjajah (Belanda).
Kekecewaan terhadap Perjanjian Renville ini bahkan sempat membuat Kartosoewirjo menyebut Amir Sjafroedin sebagai seorang ' laknatoellah ' (yang dilaknat Allah) dan penghianat yang telah 'menjual' Jawa Barat serta sikap lemah Soekarno.
Sebagai sikap tegas penolakan Renville, maka 10 Januari 1948 bertemulah perwakilan para pejuang ( mujahidin ) yang mewakili sekitar 160sayap organisasi Islam. Mereka adalah sayap santri yang telah menyerahkan tenaga, pikiran dan nyawanya untuk membela negara melawan penjajah kafir. Hadir beberapa komandan teritorial penting. Di antaranya; Sanusi Partawidjaja, Ketua Masyumi Daerah Priangan, Raden Oni, pemimpin Sabilillah Priangan, Dahlan Lukman, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Siti Murtaji'ah, Ketua GPII Puteri, Abdulullah Ridwan, sebagai Ketua Hizbullah Priangan dan Ketua Masyumi Cabang Garut, Saefullah.
Mereka bertemu di desa Pangwedusan distrik Cicayong untuk membentuk Majelis Islam atau Majelis Umat Islam dan akhirnya mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII). Ketua Majelis Islam dipimpin oleh SM Kartosoewiryo, Sekretaris oleh Supradja dan Bendahara dipegang oleh Sanusi Partawidjaja. Sedangkan bidang penerangan dan kehakiman masing.-masing oleh Toha Arsjad dan Abdulkudus Gozali Tusi. Adapun tugas Majelis Islam adalah melanjutkan dan memimpin perang gerilya melawan Belanda di daerah-daerah yang telah dilepaskan/hijrah TNI ke Jawa Tengah.
Sejak itulah Tentara Islam Indonesia (TII) berjuang keras menahan kehadiran tentara Belanda yang akan menguasai Jawa Barat.
Dalam buku "Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo", karangan Al Chaidar (1999) disebutkan, ide pendirian TII ini murni karena sikap rasa juangpara santri yang sesunnguhnya tidak mau tunduk pada tentara penjajah, akibat sikap 'lemah' pemerintah RI yang mudah tundukpada penjajah.
Sebagaimana dikutip Al Chaidar, tercatat ucapan penting Kamran, salah satu peserta pertemuan ini ingin agar Perjanjian Renville dibatalkan.
"Kalau pemerintah RI tidak sanggup membatalkan Renville, lebih baik pemerintah kita ini kita bubarkan dan membentuk lagi pemerintahan baru dengan tjorak baru. Di Eropa dua aliran sedang berdjuang dan besar kemungkinan akan terjadi perang dunia III, ja'ni aliran Rusia lawan Amerika. Kalau kita di sini mengikuti Rusia kita akan digempur Amerika, begitu djuga sebaliknja. Dari itu kita harus mendirikan negara baru, ja'ni Negara Islam. Timbulnya Negara Islam ini,jang akan menyelamatkan Negara." (" Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo", Al Chaidar, 1999)
Jelas sekali jika awal gagasan pendirian NII ingin menyelamatkan negara. Seperti diketahui, semanjak Indonesia dalam wilayah jajahan, banyak sayap-sayap milisi pejuang lahir untuk membela Negara. Apalagi karena Indonesia mayoritas Muslim, hampir semua organisasi Islam memiliki sayap militer. Sebagai bentuk bela Negara ini, ulama bahkan banyak berperan ambil bagian penting mensupport masyarakat melawan penjajah kafir hingga ke desa-desa.
Dalam buku "API Sejarah 2" (2010), karya Ahmad Mansur Suryanegara disebutkan, saat terjadinya protes sosial di Pesantren Sukamanah 18 Februari 1944 yang melahirkan resolusi politik dalam bentuk 'jihad fi sabilillah' yang dipimpin para ulama untuk menuntut Indonesia Merdeka berdasarkan Islam.
Peran para mujahid (pejuang Islam) dalam membela kemerdekaan ini tak bisa dianggap kecil. Ahmad Mansur Suryanegara mengutip perbedaan kekuatan massa partai politik IslamMasyumi yang memiliki sayap militer bernama Laskar Hizbullah dan Laskar Fi Sabilillah.
"Nampaknya, Soetan Sjahrir baru menyadari realitas kekuatan Partai politik Islam Indonesia, Masyumi. Memiliki massa pendukung partai yang konkrit dan sangat besar serta memiliki Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang sangat kuat. Kebesaran massa politik Islam Masyumi pada massa itu, dapat diukur dengan perbandingan massanya satu kabupaten saja, sama dengan massa partai non Islam lainnya untuk seluruh Indonesia."
Umumnya para pejuang kemerdekaan adalah dimotori ulama dan para santri. Wajar jika besar harapan mereka Indonesia menjadi Negara Islam. Jadi ide dan gagasan seperti ini sebenarnya bukan semata ada pada diri Kartosoewirjo. Bahkan ide seperti ini makin tajam taktala penentuan Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
Prof Dr Soepomo sempat menyampaikan pendapatnya soal ini:
"Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikansebagai Negara Islam. Dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan Tuan Mohammad Hatta ialah negara persatuan nasional yang semisalnya urusan agama dan urusan Islam dengan perkataan lain, bukan Negara Islam." (API Sejarah 2 , 2010).
Lagi pula adalah hal yang wajar jika saat itu ada keinginan pendirian Negara Islam. Sebab, menurut Ahmad Masnyur Suryanegara, sebelum pendudukan tentara Jepang, Nusantara Indonesia telah berdiri sekitar 40 Kesultanan Islam.
Tapi entahlah, mengapa dalam sejarah belakangan, kiprah para mujahidin dan pejuang kemerdekaan itu lebih ditonjolkan (tepatnya lebih diperkenalkan ke masyarakat) dari sisi pemberontakannya? Dan mengapa pula di wilayah Nusantara yang dikenal memiliki banyak kesultanan Islam ini masyarakat sering 'ditakut-takuti' meski hanya untuk menyebut kata "Negara Islam"?*/ bersambung

Rep: Akbar Muzakki
Red: Panji Islam
( hidayatullah.com )

Tidak ada komentar: